oleh

Di Balik Fenomena Latah, Ada Otak yang Sedang Berjuang Hadapi Stres

Penelitian di Jakarta terhadap 15 wanita penderita latah (Tijssen et al., Movement Disorders, 2000) menunjukkan bahwa lebih dari 80% mengalami echolalia (meniru ucapan) dan echopraxia (meniru gerakan). Ini menegaskan bahwa latah adalah kombinasi antara refleks saraf dan respon psikologis.

Stres Jadi Pemicu Utama Latah

Stres emosional ternyata punya peran besar dalam memperkuat latah. Ketika seseorang sering berada dalam tekanan, baik itu karena lingkungan sosial, pekerjaan, maupun trauma, ambang reaksi sarafnya menjadi lebih rendah.

Dalam studi Neuropsychiatric Startle Syndromes of Latah (2022), ilmuwan menemukan bahwa stres kronis bisa membuat sistem limbik di otak lebih sensitif, terutama bagian amigdala. Akibatnya, hal kecil seperti suara keras atau sentuhan tiba-tiba bisa memicu reaksi berlebihan.

Lebih menarik lagi, faktor sosial juga memperkuat kondisi ini. Di beberapa komunitas, penderita latah sering dijadikan bahan hiburan. Ketika mereka terus “dipancing” untuk melatah, otak belajar memperkuat jalur refleks itu. Lama-kelamaan, kebiasaan ini menjadi sulit dikendalikan.

Antara Refleks dan Kebiasaan Sosial

Fenomena latah menunjukkan bahwa tubuh manusia punya cara unik menghadapi stres. Dari sisi biologis, latah adalah hasil interaksi antara saraf motorik dan emosi. Namun dari sisi sosial, lingkungan berperan besar dalam memperkuat atau meredakannya.

Sayangnya, karena sering dianggap lucu, penderita latah kerap menjadi bahan ejekan. Padahal, mereka tidak bisa sepenuhnya mengendalikan reaksi tersebut. Tekanan sosial justru memperparah kondisi mereka, membuat stres meningkat dan reaksi latah makin sering muncul.

Bisakah Latah Dikendalikan?

Meski tidak berbahaya, latah bisa mengganggu rasa percaya diri seseorang. Beberapa terapi seperti latihan relaksasi, pengendalian stres, dan terapi kesadaran diri (mindfulness) dapat membantu menurunkan intensitas refleks ini.