“Kita perlu membuat perbedaan. Ada tim yang tidak cukup siap dan tidak memiliki 25 pemain seperti tim lainnya. Namun, ada juga tim yang memiliki 25 pemain yang siap, sehingga mereka dapat bermain lebih sering karena ketersediaan pemain tersebut,” kata Spalletti.
“Lalu, pembahasannya selalu berujung ke sana: beberapa pemain diperlakukan seperti pemain kelas dua, dan mereka sedikit banyak merasakan dampak dari komentar tersebut,” lanjutnya.
“Tim-tim seperti Inter, Juventus, atau Milan memiliki cukup pemain untuk bermain di banyak pertandingan. Meskipun kadang kualitasnya tidak terlalu tinggi, fisik tim dan cara mereka menginterpretasikan pertandingan yang menjadi penentu,” paparnya.
“Sekarang hampir semua tim tahu cara bermain satu lawan satu: kadang mereka menekan lawan dengan tinggi, kadang mereka memberikan ruang,” tambahnya.
“Yang tidak boleh dilakukan adalah menjadi tim yang tidak kompak. Ada kesulitan bermain melawan tim-tim ini, dan dibutuhkan kualitas permainan yang sangat tinggi untuk bisa unggul,” tambahnya.
“Menurut saya, tidak ada yang namanya terlalu sering bermain. Kita hanya perlu siap untuk bermain banyak. Kita juga harus memberi kesempatan kepada pemain cadangan untuk bermain, agar semua bisa berkembang,” sarannya.
“Namun, ketika hasilnya tidak sesuai harapan, orang-orang menyalahkan pilihan (pelatih), menyalahkan pemain cadangan, dan hal ini tidak mendukung perkembangan. Jika kita terus membuat alasan seperti ini, artinya kita hanya terjebak dalam alibi,” tuturnya.
“Kita bisa sering bermain dan tetap memainkan sepak bola yang berkualitas tinggi, tentu saja dengan mempertimbangkan kekuatan lawan juga,” pungkasnya.