“Saya pernah kalah di final Kejuaraan Eropa U-19. Saya harus melewatkan Piala Dunia dengan tim muda nasional karena saya patah tangan, dan rekan-rekan saya finis di posisi ketiga,” sambungnya.
“Kemudian saya terdegradasi dengan Cagliari, kalah di final Liga Champions, dan kalah di final Liga Europa: saya tahu apa artinya kalah,” lanjutnya.
“Di sisi lain, saya telah memenangkan Scudetto, Coppa Italia, Supercoppa, Kejuaraan Eropa… Lebih mudah menjelaskan apa artinya menang karena Anda melihat saya meledak kegirangan,” terangnya.
“Kalah, Anda tidak tahu apa yang bisa terjadi setelahnya—mungkin musim panas yang buruk, dan itu terjadi pada saya,” akunya.
“Itu membuat Anda bertanya: ‘Apakah saya akan bermain di final Liga Champions lagi?’ Saya tidak suka kalah, saya ingin memenangkan semua final yang saya mainkan, tapi kekalahan itu menjadi dorongan untuk mencoba lagi tahun berikutnya. Namun, pikiran banyak orang tidak bekerja seperti itu,” jelasnya.
“Saya tahu apa artinya kalah, saya tahu apa yang bisa terjadi dalam pikiran seorang pemain, bahkan dalam kehidupan pribadi mereka,” tuturnya.
“Penggemar tidak memikirkannya, dan itu benar karena mereka harus menjadi penggemar. Tapi ada situasi-situasi yang tidak terlihat yang menciptakan ketidaknyamanan,” pungkasnya.