Teknologi Biometrik untuk Keamanan Nasional, Pengenalan Wajah hingga AI di Perbatasan

Di bidang militer, pengenalan iris mata bahkan digunakan untuk mengidentifikasi individu dalam operasi khusus. Teknologi ini dianggap lebih sulit dipalsukan karena pola iris mata setiap orang benar-benar unik.

Kecerdasan buatan (AI) menjadi otak yang menggerakkan sistem biometrik modern. AI memungkinkan kamera dan sensor untuk mengenali pola wajah meski dengan kondisi pencahayaan buruk, mendeteksi gerakan mencurigakan di keramaian, hingga menghubungkan data biometrik dengan database kriminal atau imigrasi internasional.

Di fasilitas publik seperti stadion, stasiun, atau pusat perbelanjaan, AI berbasis biometrik bisa mengidentifikasi individu yang masuk daftar pencarian orang (DPO) secara real-time. Dengan demikian, aparat keamanan bisa bertindak lebih cepat sebelum ancaman benar-benar terjadi.

Indonesia dan Tantangan Implementasi Biometrik

Indonesia juga mulai mengadopsi teknologi biometrik, misalnya pada e-KTP yang merekam sidik jari dan iris mata, serta penggunaan face recognition di beberapa bandara internasional.

Namun, tantangan besar masih ada, seperti Perlindungan data pribadi, karena penyimpanan data biometrik rawan kena retas. Kesiapan infrastruktur, terutama jaringan internet di daerah terpencil yang belum merata. Isu etika dan privasi, karena penggunaan biometrik bisa menjadi anggapan bentuk “pengawasan massal”.

Jika tidak diatur dengan baik, penggunaan biometrik berisiko menimbulkan masalah baru, seperti penyalahgunaan data untuk kepentingan politik atau komersial.

Meski penuh tantangan, prospek biometrik untuk keamanan nasional sangat menjanjikan. Dengan pengembangan regulasi yang ketat, investasi teknologi, serta literasi digital masyarakat, biometrik bisa menjadi tulang punggung sistem pertahanan keamanan publik.